News  

Chung Lay : Upaya Mewujudkan Swasembada Pangan di Kabupaten Malaka Hanya “Kemasan Program”

BETUN-BIDIKNUSATENGGARA.COM | Chung Lay, salah satu putra Malaka yang kini menetap di Legian, Kuta-Bali, mengangkat permasalahan mendasar pada pelaksanaan program Swasembada Pangan di Kabupaten Malaka, Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Kritik Chung Lay terhadap program Swasembada Pangan yang diusung oleh Bupati Simon Nahak menyoroti adanya ketidakefektifan dan ketidakberhasilan dalam mencapai tujuannya.

Persoalan utama seperti kegagalan dalam mengoptimalkan alat penunjang pertanian, seperti traktor balik tanah, yang kini hanya menjadi pajangan rusak, mencerminkan minimnya perhatian pemerintah terhadap aspek penting dalam produksi pangan. Tanpa alat yang memadai, petani tidak memiliki sarana yang cukup untuk mengolah lahan demi produksi pangan yang optimal.

Chung Lay menjelaskan, mimpi tentang swasembada pangan telah lama menjadi topik hangat dalam berbagai diskusi pembangunan di Kabupaten Malaka, termasuk dalam kampanye politik SN-KT.

Target ini, yang dianggap sebagai solusi untuk memastikan ketersediaan pangan bagi semua lapisan masyarakat, ternyata tidak seindah janji yang dikemukakan. Dari awal kampanye hingga tiga tahun kepemimpinan, terlihat jelas bahwa program swasembada pangan hanya berhasil sebagai “kemasan program” tanpa pengaruh relaevan terhadap realitas pangan di lapangan.

Fakta di lapangan saat ini kebutuhan pangan masyarakat masih didatangkan dari luar Malaka, beras dipasaran didominasi beras Nona Kupang, Nona Sulawesi dan beras Mbak Jawa.

SN-KT mengawali kampanyenya dengan janji-janji mentereng tentang swasembada pangan, yang diperkirakan akan membawa perubahan besar bagi ketersediaan pangan di Malaka. Namun, janji tersebut, seiring berjalannya waktu, mulai terlihat sebagai sebuah retorika belaka.

Terdapat harapan besar dari masyarakat Malaka yang mendambakan kemajuan dalam sektor pangan, namun apa yang mereka terima hanyalah kekecewaan.

Banyak aspek yang menyebabkan gagalnya program swasembada pangan yang digagas oleh SN-KT. Salah satu alasan utama adalah kurangnya perencanaan yang matang. Tanpa rencana yang detail dan komprehensif, pelaksanaan program tentu saja menjadi tidak efektif.

Ditambah lagi, absennya sumber daya pendukung yang memadai membuat situasi semakin parah. Faktor-faktor ini, ketika dikombinasikan, menyebabkan program swasembada pangan tidak lebih dari sekedar janji manis di awal yang tidak pernah terwujud.

Dalam mewujudkan swasembada pangan, keberadaan sumber daya yang memadai menjadi kunci utama. Namun, realitas yang terjadi justru sebaliknya. Ketersediaan sumber daya seperti modal, tenaga kerja terampil, infrastruktur, dan akses terhadap teknologi yang canggih ternyata jauh dari kata memadai.

Keadaan ini berimbas langsung pada kualitas serta kuantitas produksi pangan di Malaka, yang tidak kunjung membaik meskipun program swasembada telah dicanangkan.

Kegagalan program swasembada pangan tidak hanya terasa dampaknya oleh pihak pengelola program, namun lebih luas lagi kepada masyarakat Malaka. Harapan untuk mencapai kemandirian pangan dan meningkatkan ketahanan pangan lokal pupus sudah.

Masyarakat Malaka terpaksa menghadapi realitas pahit berupa kelangkaan pangan yang terkadang terjadi, yang ironisnya terjadi di tengah program swasembada pangan yang seharusnya mencegah kondisi tersebut.

Program swasembada pangan di Malaka, yang dimulai dengan serangkaian janji mentereng dari SN-KT, ternyata berakhir sebagai bukti kuat bagaimana perencanaan yang tidak matang serta ketiadaan sumber daya menjadi penghambat utama keberhasilan sebuah program.

Realitas keras ini menunjukkan bahwa tanpa adanya dukungan yang memadai dari semua aspek terkait, mimpi tentang swasembada pangan akan tetap menjadi mimpi.

Chung Lay menyoroti lagi kurangnya kejelasan dalam berbagai aspek dari program tersebut. Dirinya menganggap bahwa program SAKTI belum mampu menyentuh akar permasalahan yang sebenarnya dihadapi oleh masyarakat Kabupaten Malaka dalam pemenuhan kebutuhan pangan.

Dengan perspektif yang tajam, Chung Lay menilai bahwa tanpa grand design yang jelas dan komprehensif, program ini tidak lebih dari sekedar cita-cita kosong yang tidak mampu menyasar kebutuhan dasar masyarakat.

Dirinya menjelaskan, beberapa alasan fundamental mengapa program Swasembada Pangan gagal mencapai targetnya? Alasan utama adalah fokus yang terbatas hanya pada dua komoditas dan kurangnya perencanaan yang holistik dari hulu hingga hilir. Sehingga menciptakan kesenjangan antara tujuan dan realisasi di lapangan, dimana kebutuhan pangan masih sangat bergantung pada impor dari luar Kabupaten Malaka.

Salah satu kekurangan terbesar dari program Swasembada pangan tersebut, kata Chung Lay, kurangnya perencanaan yang terintegrasi. Mulai dari pemilihan komoditas, lokasi pengembangan, pengolahan lahan, hingga ketersediaan sarana dan prasarana pendukung, program ini tidak akan mampu mencapai tujuannya.

Untuk mencapai keberhasilan dalam program Swasembada Pangan, Chung Lay berpendapat bahwa pemerintah perlu menetapkan kriteria yang jelas dan terukur.

Faktor-faktor seperti ketersediaan, aksesibilitas, dan keberlanjutan produksi pangan harus menjadi inti dari setiap strategi yang diterapkan. Peningkatan produksi pangan lokal melalui pengembangan komoditas yang diversifikasi dan peningkatan kualitas infrastruktur penunjang merupakan beberapa langkah kritikal yang harus dilakukan.

Demikian pesan rilis yang dikirim Chung Lay pada bidiknusatenggara.com, Senin, (17/6/2024) *(Ferdy Bria) 

https://gawai.co/docs/pkv-games/ https://gawai.co/docs/dominoqq/ https://gawai.co/docs/bandarqq/