BIDIKNUSATENGGARA.COM | Diduga, dana pendamping Seroja senilai Rp 2,8 miliar yang bersumber dari APBD 2022 dinikmati oleh beberapa oknum pejabat tinggi Malaka. Dugaan tersebut mengarah kepada mantan Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah, Gabriel Seran, yang kala itu menjabat sebagai penjabat pembuat komitmen (PPK). Kamis, (3/4/25).
Meskipun Gabriel Seran diduga telah membentuk tim pemantau untuk pembangunan rumah Seroja di tingkat Kabupaten, keterlibatan beberapa oknum pejabat tinggi dalam tim tersebut menimbulkan pertanyaan besar.
Tugas yang diemban tim ini seharusnya bertujuan untuk memastikan transparansi dalam proses pembangunan, namun laporan yang ada justru menunjukkan sebaliknya.
Tim media saat menginvestigasi di lapangan, menunjukkan banyak pekerjaan rumah yang terkena bencana Seroja, baik yang rusak ringan, rusak sedang maupun rusak berat, dikerjakan oleh puluhan CV dan kontraktor, dengan hasil yang jauh dari harapan penerima manfaat.
Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan rumah bantuan seroja oleh rekan-rekan kontraktor diduga dikerjaka asal jadi.
Ironisnya, tim monitoring yang dibentuk oleh BPBD Kabupaten Malaka tidak pernah terlihat di lokasi pekerjaan. Dari 27 desa yang tersebar di 7 Kecamatan, hampir seluruh pengerjaan untuk kategori rusak ringan hanya melibatkan pengecatan dinding, meskipun anggaran sebesar Rp 10 juta per unit telah disediakan.
Dengan demikian, dari 2.210 unit rusak ringan yang mendapatkan anggaran ini, total anggaran mencapai Rp 22.100.000.000, suatu angka yang sangat mencengangkan jika dilihat dari keuntungan yang didapatkan.
Dilansir dari, victorynews.id pada 1 Agustus 2023, untuk kategori rusak sedang, sebanyak 399 unit dengan anggaran Rp 25 juta per unit menghasilkan total Rp 9.975.000.000, di mana diduga oknum kontraktor hanya memberikan 25 sak semen dan 1 karung beras 50 kilogram kepada salah satu penerima manfaat di Dusun Umatasi C, Desa Badarai, Kecamatan Wewiku. Mirisnya, sejumlah pejabat tinggi Malaka yang terlibat dalam tim monitoring tidak pernah tampak di lokasi.
Hal yang sama terlihat pada pengerjaan rumah kategori rusak berat, yang mencakup 509 unit dengan anggaran Rp 50 juta per unit, totalnya mencapai Rp 25.450.000.000.
Selanjutnya, pada 3 Oktober 2022, enam unit rumah bantuan Seroja dari kategori rusak berat roboh di beberapa dusun di Desa Wederok, Kecamatan Weliman, meskipun kontraktor telah melakukan perbaikan.
Sangat mengecewakan bagi masyarakat, tidak ada satu pun pimpinan OPD yang turun tangan untuk melakukan monitoring di lokasi.
Terlebih lagi, terungkap adanya dugaan ancaman pembunuhan oleh oknum kontraktor terhadap wartawan yang meliput kegiatan di Kantor Konsultan BPBD, terkait pekerjaan yang diduga tidak tuntas di Desa Fafoe, Kecamatan Malaka Barat pada 10 Februari 2023.
Sekali lagi, pejabat tinggi yang seharusnya berada dalam tim monitoring tidak terlihat di lapangan.
Mirisnya lagi, beberapa anggota DPRD Malaka, yang diduga sebagai kontraktor bayangan, juga tidak pernah membawa isu ini ke permukaan.
Pertanyaan pun muncul di kalangan publik. Bagaimana dengan tanggung jawab tim monitoring? Apakah tugas mereka sebatas memantau 3.118 unit rumah, ataukah sekadar memonitor insentif yang sudah ditetapkan dalam surat keputusan (SK) untuk Rp 2 juta hingga Rp 4 juta per orang selama setahun?
Tanpa pengawasan yang memadai, pimpinan OPD mendapatkan gaji tanpa kerja (free take home pay) senilai Rp 2 juta hingga Rp 4 juta per bulan selama satu tahun, terhitung dari Januari hingga Desember 2022.
Sekda Malaka, Ferdinand Un Muti, saat dikonfirmasi tim media terkait SK tim monitoring pembangunan rumah bantuan Seroja, menjelaskan bahwa hampir semua pimpinan OPD terlibat.
Menurutnya, insentif untuk tim monitoring bervariasi berdasarkan golongan, dengan beberapa menerima Rp 2 juta per bulan, dan lainnya Rp 4 juta selama setahun.
Ferdinand Un mengaku telah menerima uang senilai Rp 12 juta untuk tiga bulan terakhir tahun 2022, tetapi menolak uang Rp 48 juta karena khawatir akan berpotensi masalah di kemudian hari.
Satu pejabat tinggi yang diundang dalam tim pembangunan rumah Seroja menjelaskan bahwa mereka belum menerima SK, meskipun telah meminta beberapa kali.
Dia menyebutkan adanya insentif yang diatur dalam SK tersebut sebesar Rp 2 juta per bulan selama setahun, tetapi merasa ragu untuk menerima skema itu karena takut akan konsekuensinya.
Proses partisipasi pimpinan OPD dalam menangani bencana banjir pasca badai Seroja pada awal April 2021 tampaknya berjalan tidak efektif. Dalam banyak hal, pimpinan hanya mencatat kerusakan tanpa memberikan perhatian lebih terhadap angka proyek yang merugikan masyarakat.
Diketahui bahwa anggaran sebesar Rp 57.525.000.000 untuk 3.118 kepala keluarga yang tersebar di 27 desa dan 7 kecamatan terlihat tidak diimbangi dengan pengawasan yang memadai dari pejabat terkait.
Dalam hal ini, hanya mantan kepala Kepala Pelaksana BPBD, Gabriel Seran yang memiliki tanggung jawab untuk melakukan monitoring di lapangan sebagai PPK dalam proyek pembangunan rumah Seroja.(*/fb)