BIDIKNUSATENGGARA.COM | Coba kita ingat bahwa pada tahun 2019, saat Pilpres Jokowi sebagai incumbent (seterusnya: petahana) tampil dengan sangat tenang. Percaya diri. Ia tidak cemas, kuatir atau bahkan takut. Ia selalu menunjukkan aura bahwa ia akan menang. Ia seperti sudah yakin sejak awal bahwa dialah yang akan memenangkan pertarungan politik itu. Dan tepat, beliau keluar sebagai pemenangnya. Lalu pada tahun 2020, ada Pilpres di Amerika Serikat (AS). Trump tampil sebagai petahana. Trump menampilkan sisi petahana yang agak beda. Ia seperti menjadi petahana yang kurang percaya diri. Gelisah. Paling rewel. Manja. Dan bahkan tidak percaya bahwa Pilpres itu sudah berjalan adil, jujur dan bersih. Kisah nostalgia ini, hanya sebagai santapan pembuka untuk masuk pada santapan sesungguhnya soal: apakah petahana bisa tumbang?.
Ada fenomena menarik yang tersisa dari Pilkada serentak di NTT terakhir di tahun 2020 yang lalu yakni tumbangnya para petahana. Membaca dengan kacamata bening jelas bahwa sebagai petahana mereka punya segalanya atau paling tidak mereka punya: kapital modal dan kapital relasi kekuasaan. Tapi dengan adanya fenomena tumbangnya para petahana ini bisa saja membuat sebagian besar kita mengerutkan dahi untuk berpikir dan bertanya: mengapa? Nanti kita jawab bersama. Fenomena tumbangnya para petahana ini bisa menjadi anomali untuk potret politik kita di Indonesia dan NTT khususnya, yang bisa terulang kembali pada Pilkada 2024 serentak ini. Jawaban awal yang harus dikatakan bahwa esensi dari sebuah negara demokrasi, kekuasaan itu ada pada konstituen, rakyat, bukan uang atau relasi elit oligarki.
Saya merasa tertarik untuk menganalisa secara sederhana fenomena bisa tumbangnya para petahana ini dengan merujuk pada gagasan dari Niccolò Machiavelli dan Michel Foucault. Pertama, semua kita pasti sudah tahu bahwa dalam teori politik, Machiavelli dikenal sebagai leluhur teori politik postmodern karena gagasannya bahwa dalam politik, apapun boleh, anything goes. Politik itu seni karena membolehkan apapun. Jadi tidak ada takaran pasti untuk mengukur atau menentukan sesuatu baik, benar dan menang dalam sebuah sayembara politik. Politik itu tidak fondasional karena orang bisa pakai strategi apapun. Jika kita bawa perspektif berpikir ini pada dinamika Pilkada serentak di NTT khususnya di Malaka, seorang petahana bisa saja tumbang karena tak jarang para petahana berlebihan untuk mengandalkan kapital modal dan kapital relasi kekuasaan. Belum lagi ditambah dengan janji-janji manis sang petahana yang tidak bisa diwujudkan. Memori rakyat sangat kuat pada tiap janji dan bualan manis sang petahana, sehingga ucapan “jangan percaya pada petahana” (butar balek, butar ten) menjadi lumrah dimulut rakyat. Tak ketinggalam pula taktik untuk memenangkan pertarungan dengan “kampanye hitam”: menjelekkan dan menyerang pribadi paslon lain, dan tidak pernah berbicara mengenai ide, visi dan misinya sendiri. Yang penting bukan esensinya, tapi taktik-strategi untuk memenangkan pertarungan. Etika kadang hilang, absent dan tidak dipakai dalam laboratorium pemikiran ini. Sebab orientasi utama pada kekuasaan dengan tools-nya boleh apa saja.
Kedua, kita shooping ide dari seorang Michel Foucault. Kata Foucault, relasi kekuasaan itu tidak terlembaga, bukan monopoli kaum elit, atau relasi makro. Kekuasan itu justru efektif beroperasi dalam relasi mikro seperti relasi dalam keluarga, suami-istri, anak-orang tua, antar saudara dan antar tetangga. Dari sudut pandang ini, para petahana bisa saja dan akan tumbang karena mengandalkan taktik lama yang konvensional seperti dengan topangan fulus, kekuasaan partai, birokrasi dan oligarki. Hanya saja masyakarat kita sudah melek dan jenuh dengan permainan cantik dari pola taktik konvensional diatas. Misalkan saja, di depan mereka mengangguk sopan terhadap petahana tapi di ruang coblos pilihan justru jatuh pada calon lain/pendatang baru. Ada yang tentu bertanya: mengapa. Kenapa?
Dari ide Foucault soal kekuasaan yang beroperasi dalam relasi mikro, jawabannya sederhana karena konstituen lebih mudah dipengaruhi orang dekatnya daripada orang jauh apalagi yang pakai uang dan kekuasaan. Kekuasaan dalam relasi mikro politik itu simbolik, implisit, tidak kelihatan, tapi justru itu efektif. Seorang istri ikut pilihan suaminya karena yakin pilihan suami yang terbaik, meski disatu sisi sang istri tidak sadar sedang dikuasai preferensi suami. Seorang anak ikut orang tuanya karena yakin orang tua biasa benar, belum lagi kalau saja orang tuanya pernah sekolah. Seorang adik ikut kakaknya karena yakin kakaknya lebih tahu. Tetangga lebih mudah dipengaruhi tetangganya yang selama ini berbagi garam dan minyak goreng dengan dia daripada politisi yang datang dengan segepok uang. Karena itu, bisa saja kemenangan pendatang baru/calon lain karena bisa mengeksplorasi sekaligus mengeksploitasi rumah kosong yang tidak dipakai petahana. Calon lain datang layaknya keluarga konstituen, dengan karakter orang tidak punya apa-apa, tidak punya uang. Dan justru karakter inilah yang lebih dipercaya rakyat dan mengambil hati rakyat. Kita lanjut sebentar. Tapi senyum dan lemasin dulu. Biar jangan terlalu tegang.
Akhirnya, saya cuma mau bilang bahwa rakyat di NTT (khususnya di Malaka) sudah cerdas untuk memilih pemimpin idaman mereka. Sebab pada dasarnya, rakyat kita sudah jenuh dengan rezim yang represif, angkuh dan tidak kreatif. Rakyat ingin pemimpin yang tahu situasi hidup mereka, kebutuhan mereka, ada bersama mereka dan tidak datang dengan segudang janji manis. Karena itu, siapa bilang incumbent tidak bisa tumbang? Mari kita jawab. Cukup dulu. Kita sambung nanti. Mari seruput kopinya sambil ditemani akabilan dan tubi ramas ala pasar loro-loron Besikama.**