BETUN, bidiknusatwnggara.com | Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Kabupaten Malaka, pada 22 Juli 2023 silam, bertempat di Hotel Cinta Damai Betun, Kabupaten Malaka-NTT mengadakan kegiatan Rapat Koordinasi Pembinaan dan Penguatan Kelembagaan Panwaslu Adhoc kepada semua ketua dan anggota Panwascam serta pengawai Sekretariat Kecamatan divisi Sumber Daya Manusia dan Organisasi (SDMO), yang tersebar di 12 Kecamatan.
Kegiatan ini patut diapresiasi oleh karena memberi tanda bahwa Bawaslu Malaka sebagai salah satu Lembaga Penyelenggara Pemilu yang keberadaannya berdasarkan amanat Undang-undang, memiliki kesiapan sekaligus menjadi strategi Bawaslu Malaka dalam menyukseskan pesta demokrasi tahun 2024 di wilayah Kabupaten Malaka.
Berdasarkan tahapan Pemilu 2024 sebagaimana tertuang dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) nomor 3 tahun 2022 tentang Tahapan dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 2024, tahapannya kini memasuki verifikasi bakal calon hingga penetapan daftar calon Tetap. Terhadap tahapan ini, Bawaslu hingga jajarannya seperti Bawaslu Kabupaten Malaka sudah, dan sedang melaksanakan pengawasan melekat terkait proses pendaftaran Bakal calon DPRD, hingga penetapan Daftar Calon Tetap (DCT). Adapun maksud dari pengawasan melekat ini yakni memastikan terpenuhinya hak politik para kandidat dan peserta pemilu, serta menjamin profesionalitas, dan independensi giat kerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai pihak penyelenggara hajatan pemilu 2024. Di samping itu, pengawasan melekat yang dikedepankan Bawaslu menjadi bukti komitmen Bawaslu, khusus Bawaslu Malaka dalam usaha meminimalisir berbagai praktek kecurangan atau pelanggaran pemilu yang sering terjadi pada setiap suksesi demokrasi.
Berdiskursus perihal kecurangan atau pelanggaran pemilu, salah satu masalah yang sering kali terjadi dalam hajatan demokrasi di Indonesia bahkan menjadi tantangan dalam pemilu 2024 yakni masalah politik identitas, polarisasi politik, politik uang, dan isu sara, kampanye hitam (black campaign), serta berita hoax. Fenomena ini dalam pandangan Ibrahim Z. Fahmy Badoh dan Abdullah Dahlan, penulis buku ‘Korupsi Pemilu di Indonesia’ menyebutnya sebagai korupsi pemilu. Korupsi pemilu didefenisikan sebagai setiap kegiatan yang dilakukan peserta pemilu, dan pihak lain yang memberikan, menjanjikan imbalan berupa uang, barang, jasa, jabatan, dan keuntungan lainnya secara langsung maupun tidak langsung kepada pemilih, penyelenggara, dan instansi lain yang terkait dengan pemilu, yang bertujuan mempengaruhi pilihan, dan atau proses pemilu, sehingga menguntungkan peserta pemilu atau kelompok tertentu.
Terdapat empat modus korupsi dalam pemilu, diantaranya;
Pertama, beli suara (vote buying), di mana partai politik atau kandidat membeli suara pemilih dengan uang, barang, jasa, ataupun keuntungan finansial lainnya.
Kedua, beli kursi (candidacy buying), di mana orang atau kelompok kepentingan mencoba untuk membeli nominasi agar dicalonkan dalam pemilu.
Ketiga, manipulasi dalam tahapan dan proses pemilu (electoral administrative corruptions).
Keempat, dana kampanye yang mengikat (abusive donation), menjadikan sumbangan kepada partai ataupun kandidat sebagai investasi politik.
Bercermin pada isu kecurangan atau pelanggaran pemilu, sebagaimana terangkum dalam substansi konsep korupsi pemilu tersebut bisa kita lihat, dan refleksikan serta berpikir perihal upaya pencegahan dalam pesta di demokrasi 2024 di Indonesia, khususnya wilayah Kabupaten Malaka. Dalam konteks penyelenggaraan Pemilu, Pemilihan bahkan Pilkades serentak di wilayah Kabupaten Malaka, pengalaman membuktikan bahwa isu perihal korupsi pemilu, tidak bisa dipungkiri dari wajah demokrasi di Malaka. Demokrasi di Malaka seringkali masih berkutat dengan persoalan politik identitas. Ada stigma tertentu soal perbedaan kekuatan politik pada wilayah ‘foho’ dan ‘fehan’, bahkan pembagian dari segi kekuatan suku, turunan raja (nain) dan lain sebagainya, seperti julukan kelompok ‘rumah kuning’ (uma kmodok).
Demikian juga dengan persoalan politik uang. Pilkada Malaka 2020 silam meninggalkan pengalaman perihal masalah politik uang yang ditemukan dan diproses Bawaslu Malaka melalui peranan Sentra Gakkumdu hingga putusan di Pengadilan. Begitupun dengan pengalaman hajatan Pilkades serentak di Malaka yang menyita perhatian publik oleh karena meninggalkan berbagai persoalan seperti isu kecurangan, dan ketidakadilan panitia Pilkades di beberapa desa, hingga berujung pada penyelesaian atau gugatan secara hukum.
Itulah beberapa tantangan dalam penyelenggaraan pesta demokrasi di Indonesia, khusus wilayah Kabupaten Malaka, yang semestinya menjadi atensi bersama semua pihak demi terwujudnya pesta demokrasi yang aman, damai dan bermartabat serta berkualitas.
Pertama, pihak penyelenggara pemilu, dalam hal ini peran KPU Malaka bersama jajarannya serta Bawaslu Malaka bersama semua stakeholdersnya.
Kegiatan sosialisasi penyelenggaraan pemilu perihal semua tahapan pemilu dengan cakupan aturan perundangannya, harus benar-benar tepat sasaran, dan dilakukan secara efektif dan efisien, bukan sebaliknya terkesan hanya menghabiskan anggaran, tanpa menuai manfaat yang maksimal.
Peran Bawaslu, dalam konteks ini Bawaslu Malaka bersama stakeholdersnya, terutama pengawas abdhoc harus benar-benar menunjukan perannya sebagai wasit yang kokoh dalam menjaga integritas, dan independensi sebagai penyelenggara pemilu. Kegiatan seperti penguatan dan pembinaan kapasitas pengawasan bagi pengawas adhoc, rapat koordinasi, dan sosialisasi pengawasan perihal pemilu, dengan pemahaman akan tema-tema perihal isu krusial kepemiluan, yang menjamin integritas dan independensi pengawas adhoc perlu ditingkatkan, walaupun sering kali dalam pelaksanaanya terkendala lambatnya pencairan anggaran. Berkonfrontrasi dengan berbagai isu krusial pelanggaran pemilu, sebagaimana termanifestasi dalam konsep korupsi pemilu, Bawaslu sebagai wasit dalam hajatan pemilu serentak tahun 2024, sudah semestinya mempersiapkan langkah-langkah strategis perihal pengawasan dalam usaha meminimalisir tingkat kecurangan atau pelanggaran pemilu yang memporakporandakan peradaban nilai-nilai demokrasi.
Dalam kaitan dengan ini, pandangan Loly Suhenty, anggota Bawaslu RI sangat urgen, dan relevan bila diatensi semua pihak pengawas, bahwa perihal strategi pengawasan terhadap Pemilu 2024, Bawaslu ke depan harus mengedepankan langkah pencegahan, tegas dalam menindak pelanggaran, serta ramah dalam sinergi dan kolaborasi.
Kedua, peran peserta pemilu yang responsif, kooperatif dan memiliki tingkat kesadaran yang baik perihal taat asas, dan aturan pemilu, perlu diperlihatkan. Partai politik sebagai peserta pemilu, semestinya lebih giat dalam menunjukan keberadaannya sebagai tonggak demokrasi, mensosialisasikan pilar-pilar kebangsaan, membumikan Pancasila, serta menggaungkan roh pendidikan politik bagi masyarakat. Kita tidak ingin eksistensi, dan idealisme partai diwarnai dengan paham-paham radikalisme yang justru menjadi sebab terwujudnya penyebaran ujaran kebencian, maraknya politik identitas, isu sara yang memecah belah persatuan, dan kerukunan hidup bersama, bahkan melahirkan konflik dan kekerasan dalam hidup bermasyarakat.
Ketiga, peran media atau pers, sebagai pilar demokrasi, dengan suguhan atau sajian informatif perihal giat-giat penyelenggaraan pemilu, sangat diharapkan semua pihak, demi tercapainya pendidikan politik bagi masyarkat. Masyarakat tentu tidak butuh keberadaan pers yang cenderung menyajikan informasi yang bersifat hoax, jauh dari kebenaran, bahkan menjadi sarana propaganda yang turut memberi sumbangsih terciptanya konflik dan kekerasan dalam hidup bermasyarakat.
Keempat, pihak tokoh agama, tokoh adat, tokoh pemuda dan lain sebagainya perlu kooperatif dan peka dalam giat-giat penyelenggaraan pemilu. Peran sentral semua tokoh kunci elemen masyarakat ini, bisa diimplementasikan dengan cara berpatisipasi aktif, menjadi mitra pengawasan bersama Bawaslu guna memaksimalkan strategi Bawaslu dalam menggaungkan konsep pengawasan partisipatif.
Lewat pengawasan partisipatif, dapat memberi kesadaran dan tanggung jawab kepada masyarakat, bahwa pada prinsipnya, melahirkan pemilu yang berintegritas dan demokratis, bukan semata-mata menjadi tanggung jawab para penyelenggara pemilu, tetapi ada juga pada tanggung jawab masyarakat. Tentu, hal ini sejalan dengan motto Bawaslu, ‘Bersama rakyat awasi pemilu, bersama Bawaslu, tegakkan keadilan pemilu’.
Akhirnya tak lupa juga peran pemerintah pusat, dan daerah sangat dibutuhkan demi terselenggaranya pemilu yang aman, damai, dan demokratis di Indonesia. Pihak pemerintah bukan hanya sebatas mengalokasikan anggaran pemilu yang memadai, tetapi lebih dari itu, akses sarana, dan fasilitas yang mumpuni, mendukung kelancaran giat-giat penyelenggaraan pemilu, sangat dibutuhkan. Selain itu, sangat diharapkan komitmen pihak pemerintah, dalam hal ini para ASN di semua instansi pemerintahan, untuk lebih kokoh menjaga netralitas dalam suksesi akbar pemilu 2024 ini. ***