BIDIKNUSATENGGARA.COM | Kali ini saya mengangkat sebuah tema yang mungkin diketahui secara luas tentang moral dan bermoral.
Saya ambil tema yang berhubungan dengan profesi kewartawanan. Profesi jurnalis.
Sebelum melanjutkan dan membahas tentang tema khusus ini tentang moral jurnalis dan jurnalis bermoral. Tentu, penulis memberikan arti apa itu moral.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), moral adalah ajaran tentang baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya; akhlak; budi pekerti; susila.
Berangkat dari pengertian moral ini, warga masyarakat dan para ahli, filsuf selalu membahas, diskursus tentang moral yang melekat pada diri manusia, sebab hanya manusia yang mengimplementasikan moral dalam kehidupan sehari-hari.
Banyak diskursus yang direfleksikan, dipahami, ditawarkan kepada manusia agar menjalankan tugas dan kerja dikawal oleh moral yang melekat pada dirinya.
Kembali kepada judul artikel ini, moral jurnalis dan jurnalis bermoral. Tentu, saya menulis artikel ini berangkat dari kegelisahan hati, jeritan hati nurani ketika saya mendengarkan perbincangan publik dengan sindiran halus dengan mengatakan, “oknum wartawan itu tidak bermoral, atau perkataan lainnya, “maunya seperti oknum wartawan itu bermoral.
Untuk menilai moral jurnalis dan jurnalis bermoral dilakukan publik dan pembaca yang membaca karya-karya jurnalistik yang memiliki kehendak baik, rasional dan berkualitas.
Tentu bagi penulis, artikel ini untuk mengawasi diri penulis yang berprofesi jurnalis. Seorang pekerja media dapat dinilai oleh pembaca dan publik, apakah jurnalis itu bermoral atau sebatas moral.
Saya memahami moral jurnalis itu dari kepribadiannya yang berkelakuan baik, berkehendak baik dan menaati norma-norma sosial sedangkan jurnalis bermoral dapat dinilai dari kehendak baik, akal yang berkualitas dan rasional dalam produk karya jurnalistik.
Jikalau produk karya jurnalistik dari seorang jurnalis tidak memenuhi unsur-unsur sesuai regulasi dan kode etik jurnalistik. Maka, pembaca dan publik dapat menilai jurnalis itu tidak bermoral. Tentu semua pembaca dan publik memiliki oenilaian tersendiri. Tapi, bisa juga pembaca dan publik dapat dinilai oleh jurnalis tentang moral dan bermoral.
Misalnya pembaca dan publik dari oknum pejabat publik pasti menilai wartawan tidak bermoral apabila dalam produk karya jurnalistiknya tidak sesuai dengan kemauan dan keinginannya. Seorang jurnalis yang tidak mempublikasikan produk karya jurnalistik dari oknum pejabat diduga amoral dan melakukan dugaan korupsi, kemungkinan besar jurnalis itu dapat dinilai juga bahwa jurnalis itu tidak bermoral. Tanggung jawab moral dari seorang jurnalis bermoral ada pada produk karya jurnalistik yang berani melaporkan fakta dan data akurat dari oknum pejabat publik yang tidak bermoral. Bahkan, seorang jurnalis itu berpihak pada masyarakat kecil yang memiliki moral tinggi dalam kehidupan hariannya.
Selama ini penulis sering mendengar dan membaca berbagai literatur bahwa seorang jurnalis paling dinilai sebagai jurnalis humanis apabila jurnalis itu berpihak pada karya jurnalistiknya untuk membela kaum tertindas yang ditindas kaum penguasa. Agak jarang disampaikan oleh pembaca dan publik secara terbuka bahwa ada sebutan jurnalis bermoral. Keutamaan dari seorang jurnalis itu ada pada bermoral dan tidaknya. Jurnalis bermoral itu ada pada tindakan kehendak baiknya yang rasional dan akalnya berkualitas sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik.
Seorang jurnalis itu dijaga oleh perbuatan bermoralnya. Tentu sebagai manusia dengan memilih profesi jurnalis lahir dari sikap moral. Dalam perjalanan, seoramg jurnalis akan dinilai bermoral apabila menjalankan profesinya sesuai dengan kaedah-kaedah yang sudah mengaturnya dengan berbagai regulasi yang diperuntukkan bagi jurnalis itu sendiri.
Wartawan itu Kaum Minoritas Bermoral, Benarkah?
Seorang sahabat dalam Forum Jurnalis Flores-Lembata (FJF-L) Nusa Tenggara Timur mengungkapkan, berangkat dari kasus yang menimpa pekerja pers di Nusa Tenggara Timur, ia akhirnya berpendapat bahwa jurnalis atau pekerja pers itu kaum minoritas yang kurang mendapatkan kepedulian sosial, bahkan jarang dilindungi, atau dibela oleh pembaca dan publik untuk bersama-sama berjuang dalam memperoleh keadilan sosial. Bahkan, perusahaan pers juga memilih jalan damai dengan mengorbankan pekerja pers dilapangan, bahkan diancam diberhentikan atau diberhentikan sepihak.Nasib jurnalis yang merupakan kaum minoritas mudah sekali ditindas, baik oleh kaum penguasa maupun pemilik modal dalam sebuah perusahaan pers. Lalu, kemana pekerja pers berlindung? Tentu, pekerja pers dilindungi oleh Negara berdemokrasi karena Negara sudah membuat regulasi dalam bentuk Undang-Undang yang sama mengatur kehidupan bersama dalam negara berdemokrasi. Kaum penguasa dan kaum kapital dalam perusahaan pers juga bekerja berdasarkan Undang-Undang. Kaum penguasa dan pemilik modal dalam satu perusahaan pers tentu diawasi, dievaluasi dan dikontrol oleh berbagai pihak dari luar lingkaran demi menjalankan kebijakan pembangunan manusia yang berpihak kepada rakyat biasa.
Apabila seorang jurnalis mendapatkan masalah karena produk karya jurnalistiknya, tentu ia dilindungi dan dijaga oleh sikap moral dan bermoralnya dalam kehidupan hariannya. Selain itu jurnalis bermoral itu ada pada kebeningan, ketulusan hati nuraninya. Sebab, seorang jurnalis dikawal kuat oleh hati nurani yang bersih, tidak abu-abu, berintegritas, tidak berpihak pada kaum penguasa yang rakus dan bernafsu mempertahankan kekuasaan yang tidak berpihak pada masyarakat kecil.
Ini semua kembali kepada diri masing-masing jurnalis. Dan jurnalis itu seorang manusia yang akan mengetahui dirinya bermoral melalui produk karya jurnalistik. Tidak ada diluar produk karya jurnalistiknya.
Oknum pejabat publik yang berbicara di ruang publik akan diawasi, dievaluasi dan dikritisi oleh jurnalis bermoral dengan menganut kebebasan berekspresi di ruang publik, apabila di era digital dengan menjamur akun sosial media.
Era Kolaboratif Pekerja Pers
Penulis berpendapat, era digital saat ini dengan kemudahan untuk mengontrol dan mengawasi kerja jurnalistik serta memperkuat karya liputan serta melindungi pekerja pers dimulai suatu kebiasan baru dengan karya kolaboratif lintas pekerja pers serta perusahaan pers.
Membangun jejaring kolaboratif dengan mengangkat isu kebobrokan pembangunan dan ketidakadilan sosial dibutuhkan kekuatan antara sesama pekerja pers dan perusahaan pers yang berpihak pada kebenaran dan keadilan sosial agar kaum penguasa dan kaum kapital dalam perusahaan pers tidak semena-mena membungkam, serta mengungkung kebebasan berekspresi sebab kaum penguasa dan kaum kapital perusahaan pers hanya mementingkan langgengnya kekuasaan dan untuk perusahaan pers berlipat ganda nilai kapital dalam perusahaan. Sesungguhnya perusahaan pers tahu bahwa pekerja pers adalah aset dan ada nilai kapital yang searah dengan visi dan misi perusahaan pers tersebut.
Seandainya kaum penguasa tidak diawasi, tidak dikontrol dan tidak dikritik maka kaum penguasa itu akan menerapkan kebijakan pembangunan yang mengorbankan rakyat serta bersifat otoriter.
Santo Fransiskus de Sales, Pelindung Para Penulis dan Jurnalis
FRANSISKUS de Sales dilahirkan di kastil keluarga de Sales di Savoy, Perancis, pada tanggal 21 Agustus 1567. Keluarganya yang kaya membekalinya dengan pendidikan yang tinggi.
Pada usia 24 tahun, Fransiskus telah meraih gelar Doktor Hukum. Ia kembali ke Savoy dan hidup dengan bekerja keras.
Tetapi, kelihatannya Fransiskus tidak tertarik pada kedudukan yang tinggi dalam masyarakat. Dalam hatinya, Fransiskus mendengar adanya suatu panggilan yang terus-menerus datang bagaikan sebuah gema.
Tampaknya seperti suatu undangan dari Tuhan baginya untuk menjadi seorang imam. Pada akhirnya, Fransiskus berusaha menceritakan perjuangan batinnya itu kepada keluarga.
Ayahnya amatlah kecewa. Ia ingin agar Fransiskus menjadi seorang yang tersohor di seluruh dunia. Dengan pengaruh kuat keluarga pastilah impian itu akan tercapai.
Tetapi, Fransiskus bersikeras tidak mau mengikuti keinginan sang ayah. Akhirnya dia ditahbiskan imam pada tanggal 18 Desember 1593.
Pater Fransiskus de Sales hidup pada saat umat Kristiani dilanda perpecahan. Ia menawarkan diri untuk pergi ke daerah yang berbahaya di Perancis untuk membawa kembali orang-orang Katolik yang telah menjadi Protestan.
Ayahnya menentang keras. Ayahnya mengatakan bahwa sudah merupakan suatu hal yang buruk baginya mengijinkan Fransiskus menjadi seorang imam. Ia tidak akan mengijinkan Fransiskus pergi dan wafat sebagai martir pula.
Tetapi, Fransiskus percaya bahwa Tuhan akan melindunginya. Maka ia dan sepupunya, Pater Louis de Sales, dengan berjalan kaki menempuh perjalanan ke daerah Chablais. Segera saja kedua imam tersebut merasakan bagaimana menderitanya hidup penuh hinaan serta aniaya fisik. Hidup mereka berdua senantiasa ada dalam bahaya. Namun demikian, sedikit demi sedikit, umat kembali ke pelukan Gereja.
Fransiskus de Sales memiliki motto yakni “Yang mewartakan dengan cinta, mewartakan dengan efektif”. (Dirangkum dari berbagai sumber)
“BICARA DENGAN HATI”
Pesan Paus Fransiskus untuk Hari Komunikasi Sosial Sedunia ke-57
“Berbicara dari hati menurut kebenaran dalam kasih.” (Ef. 4: 15)
Dalam pesan Paus Fransiskus Untuk Hari Komunikasi Sosial Sedunia ke-57, 21 Mei 2022 yang diterjemahkan oleh Komisi Komunikasi dan Sosial KWI menaruh hormat pada Sosok Santo Fransiskus De Sales. Penulis mengutip sebagian pesan Hari Komsos Sedunia ini pada bagian tentang Santo Fransiskus Des Sales yang berkaitan dengan tema artikel ini.
Komunikasi dari hati ke hati: “Agar dapat berbicara dengan baik, cukuplah dengan mencintai secara baik”Salah satu contoh paling cemerlang dan tetap memikat hingga saat ini tentang “berbicara dengan hati”, dapat ditemukan dalam diri Santo Fransiskus de Sales, seorang Pujangga Gereja. Baru-baru ini, dalam rangka peringatan 400 tahun wafatnya, saya menulis tentang figur ini dalam Surat Apostolik Totum Amoris Est (‘Segalanya tentang Cinta’).Dekat dengan peringatan penting ini, (400 tahun wafat Santo Fransiskus de Sales), saya ingin menyebut satu peringatan lain pada tahun 2023 ini, yaitu100 tahun penetapannya sebagai Santo Pelindung Jurnalis Katolik oleh Paus Pius XI melalui Ensiklik Rerum Omnium Perturbationem (Tentang Segala Gangguan) (26 Januari 1923). Fransiskus de Sales, Uskup Jenewa pada awal abad ke-17, merupakan seorang intelektual brilian, penulis hebat, dan teolog besar. Beliau hidup pada masa-masa sulit yang ditandai oleh perselisihan sengit dengan Calvinis. Sikapnya lemah-lembut dan manusiawi, serta memiliki kesabaran untuk berdialog dengan semua orang, terutama dengan mereka yang tidak sependapat dengannya. Inilah yang membuat dirinya menjadi saksi luar biasa akan cinta Tuhan yang berbelas kasih.
Konferensi Waligereja Indonesia Tentang pribadinya, dapat dikatakan bahwa “tenggorokan yang manis mendapat banyak sahabat, dan keramahan diperbanyak oleh lidah yang manis lembut” (Sir. 6: 5). Terlebih lagi, salah satu pernyataannya yang paling terkenal, “hati berbicara kepada hati”, telah mengilhami banyak orang beriman, termasuk Santo John Henry Newman, yang menjadikannya sebagai motto hidup, “cor ad cor loquitur” (hati berbicara kepada hati).“Agar dapat berbicara dengan baik, cukuplah dengan mencintai secara baik”, adalah salah satu keyakinannya.
Baginya, komunikasi tidak boleh direduksi menjadi suatu kepalsuan, yang saat ini mungkin kita sebut sebagai strategi marketing. Komunikasi merupakan cerminan jiwa, permukaan dari inti cinta yang tidak terlihat oleh mata.Bagi Santo Fransiskus de Sales, justru “di dalam hati dan melalui hati terjadi proses yang intens, hati-hati, dan menyatukan, yang di dalam proses ini kita datang untuk mengenal Tuhan”.
Melalui “mencintai dengan baik”, Santo Fransiskus berhasil berkomunikasi dengan Martino yang bisu-tuli, dan menjadi temannya. Oleh karena itu, dia juga dikenang sebagai pelindung bagi penyandang disabilitas dalam berkomunikasi.
Berawal dari “kriteria cinta” inilah, melalui tulisan-tulisan dan kesaksian hidupnya, Uskup suci dari Jenewa itu mengingatkan bahwa “kita ini adalah apa yang kita komunikasikan”. Pokok tersebut menentang arus, seperti yang kita alami saat ini, khususnya di jejaring sosial. Komunikasi sering dieksploitasi sehingga dunia melihat kita seperti yang kita inginkan, bukan siapa kita sebenarnya.
Santo Fransiskus de Sales menyebarkan banyak salinan tulisannya di komunitas Jenewa.Intuisi “jurnalistik” ini membuatnya memiliki reputasi yang dengan cepat melampaui batas keuskupannya, dan bahkan masih bertahan hingga hari ini. Menurut pengamatan Santo Paulus VI, tulisan-tulisannya merupakan bacaan yang “sangat menyenangkan, dapat menjadi panduan, dan 2 Surat Apostolik Totum Amoris Est (28 Desember 2022).
Konferensi Waligereja Indonesia menggerakkan”. Kalau sekarang kita melihat dunia komunikasi, bukankah ini ciri-ciri yang harus ada dalam sebuah artikel, laporan, program televisi atau radio, atau unggahan di media sosial? Semoga mereka yang bekerja di bidang komunikasi terinspirasi oleh Santo yang lemah-lembut ini, mencari dan menyatakan kebenaran dengan berani dan bebas, serta menolak godaan untuk menggunakan ekspresi sensasional dan agresif.
Kualitas Wartawan dan Media di Era Online
Dr Ignas Kleden dalam buku Fragmen Sejarah Intelektual, Beberapa Profil Indonesia Merdeka, Terbitan Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta 2020, mengangkat satu bagian tentang Mochtar Lubis: Tidak Takut Pada Rasa Takut. (Hal 296-305).Menurut Mocthar Lubis, ada enam ciri manusia Indonesia, yang boleh kita pertimbangkan relevansinya juga masa sekarang, yaitu sikap munafik, takut bertanggung jawab, feodal, cenderung kepada takhyul, artistik dan watak yang lemah. Bahkan Mocthar Lubis mengatakan korupsi pemikiran. Bahkan Mocthar Lubis mengutip George Orwell salam kaitan itu: jika pikiran kita mengkorupsi bahasa yang kita pakai, maka lambat laun bahasa akan mengkorupsi pikiran kita sendiri.
Dr Ignas Kleden menganalisa pemikiran Mocthar Lubis dengan mengatakan “Semakin berani seseorang berpikir merdeka dan menggunakan akal budinya semakin dekat dia ke arah pencerahan dan semakin berhasil juga pendidikan dan pengajaran yang dialaminya. Sebaliknya semakin enggan seseorang berpikir merdeka dan takut menggunakan akal budinya secara penuh, semakin gagal juga pendidikan dan pengajaran yang pernah diperolehnya, dan semakin dalam dia terbenam dalam ketidakdewasaan yang diciptakan karena kesalahannya sendiri.
Selain itu Dalam Buku “Syukur Tiada Akhir Jejak Langkah Jakob Oetama,penyunting ST. Sularto, Pendiri Kompas Gramedia Group, (KKG), Jakob Oeatama membahasakan profesi jurnalisitik itu menghibur yang papa, mengingatkan yang mapan (Hal 149). Selain itu, Jakob Oetama menegaskan ” Jurnalisme Kepiting tetap berlaku bahkan perlu terus dikembangkan” selain itu profesi jurnalistik itu harus tahu diri, harga diri, terutama dapat dipercaya, itulah modal yang tidak lekang oleh gegap gempitanya perubahan. Modal sosial itu merupakan resultab dari karakter, integritas, dan kemampuan profesional. Selain itu, Jakob Oetama bersama media KOMPAS mengembangkan jurnalisme makna, jurnalisme fakta, jurnalisme humanis dan kini jurnalisme berkualitas di era digital.
Ada begitu banyak jurnalis di Indonesia yang menulis, memberitakan berita dengan prinsip jurnalisme kasih. Kita bisa baca dari gaya penulisan dan pemberitaan.
Dr Rushworth Kiddler dari Institute Untuk Etika Global dalam Tema Etika Jurnalisme di Buku Etika Jurnalisme:Debat Global menjelaskan, tidak ada “hal tersendiri yang namanya etika jurnalisme” jika dibandingkan dengan etika kedokteran atau hukum. Tapi wartawan harus meliput “melalui lensa etika” tentang apa yang terjadi dalam masyarakat. Wartawan harus menggunakan bahasa etika selain bahasa sehari-hari dalam politik dan ekonomi.Mereka bukannya harus bertanya: “apakah ini berguna? atau apakah secara ekonomi ini layak?” tetapi “apakah ini benar?”
Dalam buku Shared Values for a Troubled World, Kiddler melaporkan tentang studinya di seluruh dunia mengenai nilai-nilai etika untuk menguji dalilnya bahwa ada landasan yang sama dalam etika.
Wawancaranya dengan para pemimpin 16 negara mengungkapkan serangkaian nilai ini yang hanya sedikit bervariasi dari satu negara ke negara lain, atau dari satu kebudayaan ke kebudayaan lain. Daftar ini termasuk cinta, kebenaran, kebebasan, kejujuran, kesetiakawan, toleransi, tanggungjawab, hidup.
“Di ruang redaksi, permasalahan etika menghasilkan sebuah kebuntuan antara mereka yang mengatakan, ” realistis saja, kita punya tenggat waktu dan pembaca yang harus dilayani,” dan mereka yang mengatakan,”persetan itu, ada prinsip yang dipertaruhkan di sini.” Dalam kebuntuan seperti inilah kerja etika yang nyata mulai bekerja”
Dalam dunia ideal, jurnalisme seharusnya bebas dari segala motif kecuali untuk memberi informasi kepada publik. Jurnalisme tidak pernah boleh dimotivasi oleh keinginan untuk menjilat pemasang iklan, memperjuangkan kepentingan politik atau membantu kepentingan ekonomi si wartawan ataupun organisasi media.
UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers
Pasal 6
Pers nasional melaksanakan peranannya sebagai berikut:a. memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui;b. menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormati kebhinekaan;c. mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar;d. melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum;e. memperjuangkan keadilan dan kebenaran;
Kode Etik Jurnalistik
Pasal 5:
1. Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.
2. Pers wajib melayani Hak Jawab.
3. Pers wajib melayani Hak Koreksi.
Pasal 1
Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.
Penafsiran
a. Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.
b. Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi.
c. Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara.
d. Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain.
Pasal 2
Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.
Penafsiran c koara-cara yang profesional adalah:
a. menunjukkan identitas diri kepada narasumber;
b. menghormati hak privasi;
c. tidak menyuap;
d. menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya;
e. rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang;
f. menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara;
g. tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri;
h. penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik.
Pasal 3
Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.
Penafsiran
a. Menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu.
b. Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional.
c. Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan opini interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta.
d. Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang.
Pasal 4
Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.
Penafsiran
a. Bohong berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai hal yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi.
b. Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat buruk.
c. Sadis berarti kejam dan tidak mengenal belas kasihan.
d. Cabul berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara, grafis atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi.
e. Dalam penyiaran gambar dan suara dari arsip, wartawan mencantumkan waktu pengambilan gambar dan suara.
Dari beberapa hal yang disampaikan penulis di dalam artikel ini, penulis memberikan saran kepada pekerja pers untuk: pertama, pekerja pers mematuhi regulasi Undang-Undang Pers dan Kode Etik Jurnalistik dalam menjalankan profesinya. Kedua, pekerja pers tidak merasa diri sebagai kaum minoritas di dalam negara demokrasi. Ketiga, pekerja pers mengedepankan produk karya jurnalistik agar tidak tersandung kasus. Keempat, pekerja pers meningkatkan sumber daya manusia dengan membaca berbagai regulasi lainnya. Selain itu, pekerja pers harus rasional dalam menghasilkan karya jurnalistik. Mengedepankan etika jurnalisme dan etika sosial. Kelima, pekerja pers dan perusahaan pers berkolaborasi lintas jurnalis dan perusahaan untuk memperkuat jejaring supaya apabila tersandung kasus dengan produk karya jurnalistik, semua orang mampu membela dan melindungi pekerja pers dan perusahaan. Keenam, pekerja pers mengedepankan liputan dengan menulis dengan hati, bukan dengan emosional dan tendensius. Ketujuh, seorang jurnalis dikontrol oleh moral pribadi agar publik memahami bahwa seorang jurnalis itu bermoral. Seorang jurnalis bermoral itu terletak pada produk karya jurnalistiknya yang memiliki kehendak baik, rasional dan berkualitas. Sebelum memilih profesi ini, sebaiknya pribadi seorang jurnalis memahami dan mengerti diri sendiri tentang moral. Jurnalis bermoral itu keutamaan dalam diri sendiri dengan memegang teguh sikap moral. ***