MANGGARAI,bidiknusatenggara.com | Pada Rabu, 9 Agustus 2023 lalau masyarakat Indonesia di Pulau Flores sedang mendapatkan ancaman perampasan tanah dengan dalih pembangunan energi listrik. Melalui Kepmen ESDM No. 2268K/30/MEM/2017, kementerian ESDM menetapkan pulau flores sebagai pulau geothermal.
Keputusan ini sejatinya adalah upaya Negara bersama dengan para pengusaha asing untuk menguasai tanah dan kekayaan alam masyarakat di Pulau Flores. Untuk memuluskan setahap demi setahap rencana tersebut, pada tahun 2018 PLN menandatangani pinjaman untuk pendanaan pengembangan PLTP Ulumbu unit 5 dan 6 dan PLTP Mataloko unit 2-3 sebesar 150 Juta Euro atau setara dengan Rp 2,6 Triliun yang berasal dari bank asal Jerman, KfW (Kreditanstalt für Wiederaufbau) Development Bank, dengan bentuk pinjaman langsung tanpa jaminan pemerintah.
Pinjaman tersebut digunakan untuk pendanaan Geothermal Energy Programe. Di mana penandatanganan pinjaman tersebut dilangsungkan pada aca forum Indonesia Investment, IMF-World Bank Group Annual Meetings 2018 di Nusa Dua, Bali. Menindaklanjuti pinjaman bank jerman tersebut, Bupati Manggarai langsung membuat surat keputusan untuk menetapkan wilayah Geothermal. Bupati Manggarai membuat Surat Keputusan Bupati Manggarai Nomor HK/417/2022 tentang Penetapan WKP untuk perluasan PLTP Ulumbu di wilayah Poco Leok. Keputusan ini dibuat sewenang-wenang karena tidak melibatkan masyarakat adat Poco Leok yang telah mendiami Poco Leok sejak lama.
Penetapan WKP PLTP di Poco Leok tanpa melibatkan Gendang adalah tindakan Negara yang tidak mengakui keberadaan Masyarakat Adat di Poco Leok! Hal ini jelas melanggar UUD 1945 pasal 18 B ayat 2 dan pasal 28 I ayat 3!! Hal ini jelaslah telah menghina hukum adat masyarakat Poco Leok! Sejak awal sosialisasi PLTP hingga saat ini, masyarakat adat Poco Leok secara tegas melakukan penolakan, namun hal tersebut tidak didengar oleh pihak Bupati dan PLN.
Masyarakat adat Poco Leok telah menghimpun kekuatan dan hingga saat ini terdapat 10 Gendang yang menyatakan sikap penolakannya, yakni : Lungar, Mocok, Mori, Mucu, Nderu, Tere, Jong, Ncamar, Rebak, dan Cako. Pembangunan PLTP di Poco Leok sangatlah berdampak pada aspek lingkungan, karena akan menyedot air di Poco Leok secara besar dan meningkatkan potensi longsor serta berpotensi terjadi kebocoran gas jika ada pergerakan tanah. Sementara secara ekonomi, pembangunan PLTP akan merampas tanah adat masyarakat Poco Leok, dan akan menyebabkan penurunan produktivitas pertanian sehingga akan bertambahnya migrasi pemuda ke kota ataupun ke luar negeri untuk menjadi buruh. Dari segi kesehatan, limbah asap PLTP dapat berakibat buruk bagi kesehatan. Terbukti di Desa Wewo, tempat PLTP Ulumbu 1-4 berdiri, menyumbang korban penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) terbesar dari tahun 2017 sampai 2019.
Secara sosial-politik, pembangunan PLTP dapat merusak hukum adat dan sistem sosial Adat Manggarai yang selama ini dijaga masyarakat adat Poco Leok. Salah satu warisan budaya yang terus dijaga hingga saat ini adalah falsafah Lampek Lima yang menjadi satu kesatuan dan tidak dapat dipisahkan, karena jika salah satu dari falsafah tersebut hancur maka pandangan serta identitas orang Manggaraipun dengan sendirinya hancur. Hal ini juga yang menjadi landasan utama bagi masyarakat Pocoleok untuk menjaga warisan budaya secara regenerasi. Selain itu, politik pecah belah di tengah masyarakat akan bertambah parah akibat upaya PLN yang masuk mempengaruhi masyarakat tanpa melalui rumah Gendang, dan menawarkan berbagai macam iming-iming palsu. Atas dasar itulah, kami masyarakat adat Poco Leok membentuk organisasi kami sendiri yaitu Persatuan Masyarakat Adat Poco Leok sebagai bukti kesungguhan tekad kami memperjuangkan hak kami sebagai masyarakat adat.
Semua pemberitaan yang mengabarkan kami hanya ditunggangi oleh pihak tetentu adalah kebohongan. Untuk itu, pada hari ini, 9 Agustus 2023, bertepatan dengan Hari Masyarakat Adat Internasional, kami mendeklarasikan Persatuan Masyarakat Adat Poco Leok, yang dipimpin oleh dewan adat 10 Gendang yang ada di Poco Leok. Kami sebagai masyarakat adat juga telah dilindungi oleh UUD 1945 (Pasal 18 B ayat 2 dan Pasal 28 I ayat 3), dimana Negara Indonesia mengakui dan menghormati masyarakat hukum adat selama masih ada dan sesuai perkembangan dan prinsip Negara Republik Indonesia.
Selama beberapa waktu terakhir, Kami Persatuan Masyarakat Adat Poco Leok terus berjuang menghadapi kedatangan PLN dan aparat keamanan yang masuk secara diam-diam untuk melakukan aktivitas yang berkaitan dengan geothermal di atas tanah adat kami. Hal ini juga membuat kehidupan masyarakat tidak nyaman. Masyarakat tidak bisa berkebun dan melakukan aktivitas sosial seperti biasa, karena berusaha keras menghadang kedatangan PLN dan aparat yang berupaya masuk secara sewenang-wenang. Untuk itu, saat ini kami nyatakan secara tegas penolakan kami atas Geothermal dan kecaman kami atas tindakan PLN dan Aparat Keamanan yang TIDAK MENGHORMATI ADAT KAMI!
Untuk itu, kami Persatuan Masyarakat Adat Poco Leok dengan ini menyatakan sikap dengan tegas:
1. Cabut SK Bupati Manggarai Nomor HK/417/2022 tentang Penetapan WKP untuk perluasan PLTP Ulumbu di wilayah Poco Leok yang tidak melibatkan masyarakat adat Poco Leok!
2. Hentikan seluruh aktivitas PLN dan aparat keamanan yang berkaitan dengan Geothermal di Wilayah Adat Poco Leok!
3. Hentikan intimidasi dan politik pecah belah PLN beserta kepolisian terhadap Masyarakat Adat Poco Leok!
4. Hentikan pendanaan Bank KfW Jerman terhadap proyek Geothermal di tanah Flores!
5. Cabut Kepmen ESDM tentang Penetapan Pulau Flores Sebagai Pulau Geothermal karena hal ini adalah bentuk upaya perampasan dan monopoli tanah masyarakat!
6. Hentikan Upaya Sertifikasi Tanah-tanah Lingko di Wilayah Pocoleok Oleh Pihak ATR/BPN**
(Tim/Bersambung)
Narahubung
Kordinator Umum Aksi
Ergenius Tesen (0812-4143-1170)