BIDIKNUSATENGGARA.COM | Orang Manggarai di Nusa Tenggara Timur, Indonesia memiliki karakteristik yang sangat berbeda dengan masyarakat lainnya di Indonesia. Karakteristik bisa dipahami melalui penggunaan bahasa daerahnya. Bahasa adalah kunci komunikasi yang saling menghargai perbedaan serta menjunjung tinggi nilai persaudaraan lintas usia dan lintas batas kehidupan sosial masyarakat.
Sastra lisan orang Manggarai mengandung arti dan makna yang dapat dipahami dan dijalani dalam kehidupan sehari-hari. Ada begitu banyak sastra lisan yang saling mendukung dan memotivasi satu sama lain dalam kehidupan sosial masyarakat Manggarai. Bahkan ada yang halus dan lembut yang disampaikan kepada mitra bicara dalam kehidupan sosial orang Manggarai melalui bahasa sehari-hari. Selain itu, ada bahasa sastra untuk saling mengkritik kehidupan sesama melalui ungkapan bahasa yang masing-masing dipahami oleh si penutur dan mitranya saat terjadi interaksi sosial. Dari ribuan bahkan jutaan goet atau dialek Manggarai, ada kata untuk saling mengerti satu sama lain. Kata itu adalah Sigu. Sigu adalah ungkapan kata dengan narasi saling kritik dengan berbagai ungkapan-ungkapan dalam goet bahasa Manggarai.
Sebagaimana saya dengar dari sejak kecil, ada yang menyampaikan “mai ghe sigu tau” (mari kita sigu) atau pande sigu”. (Buat sigu). Selain dituturkan, Sigu biasa juga dilantunkan dalam syair-syair lagu dalam bahasa Manggarai. Dan kalau ada kelompok orang yang sedang berkumpul dan mengiyakan untuk saling Sigu, maka, mereka mulai membahasakan goet-goet yang mengandung kritikan, baik tentang kehidupan keluarga maupun kehidupan pribadi seseorang. Tapi, ada nuansa persaudaraan, kekeluargaan dan tidak saling singgung. Bahkan tidak ada permusuhan usai goet sigu dilangsungkan. Tidak ada konflik, tidak ada perkelahian, melainkan kritik membangun satu sama lainnya. Tidak ada ketersinggungan, melainkan, ada saling motivasi dan mengetahui kelihaian seseorang tentang goet-goet dalam bahasa Manggarai dan mengetahui kemampuan seseorang dari bahasa sigu tersebut.
Ketika ada persetujuan dari anggota kelompok atau anggota keluarga yang mau ber-sigu, maka satu per satu membahasakan sesuatu dengan perbandingan demi perbandingan yang dapat dimengerti oleh mitra dialog, bahkan para pendengar yang mendengarkan penutur “sigu” dari penutur pertama paham dengan dialek atau goet yang dituturkan itu mulai berpikir untuk membalas dengan bahasa “sigu” lainnya. Prinsip utamanya adalah saling mendengar dan tidak boleh memotong pembicaraan lawan saat dilangsungkan goet atau dialek “sigu”. Dan “sigu” sendiri dapat dipahami dengan bahasa perumpamaan demi perumpamaan dengan memakai bahasa Manggarai. Tidak bisa memakai bahasa Indonesia atau bahasa lainnya. Hanya memakai perumpamaan atau sastra lisan dalam goet bahasa Manggarai.
Tentu dalam kelompok itu mengetahui kepada siapa perumpamaan goet itu dituju. Dan lawan bicara tahu bahwa bahasa “sigu” ditujukan kepada siapa. Untuk itu, perhatian dan simak baik-baik apa yang disampaikan oleh penutur pertama yang membuka “bahasa sigu”. Ada kalanya perumpamaan dalam kehidupan sehari-hari, seperti watak “ngonde”, (malas) watak “ngende” (minta belas kasihan) dan lain sebagainya sesuai apa yang dijumpai dalam pengalaman hidup harian. Begitu lawan bicara mengetahui bahwa bahasa “sigu” ditujukan, orang itu akan membalas kepada penutur pertama dengan bahasa “sigu” goet lainnya.
Setelah saling lempar goet “sigu” dilangsungkan dalam nuansa persaudaraan dan kekeluargaan, semua diakhir dengan tertawa bersama-sama untuk menghilangkan goet “sigu” dan kembali akrab satu sama lain. Tidak ada permusuhan, tidak ada kebencian. Tidak ada kesombongan, tidak saling menguasai satu sama lain. Biasanya, orang-orang tua yang pandai dengan membahasakan goet atau dialek “sigu” dengan bahasa keseharian.
Nuansa kebersamaan dijunjung tinggi dan memang tidak memakai aturan yang ketat. Mengalir begitu saja “goet sigu” tersebut.
Kebiasaan lain yang dilakoni bahasa “sigu” adalah saat tarian caci dilangsungkan. Biasanya bahasa “sigu” dibawakan dengan syair lagu kepada lawan tanding cacinya. Jikalau lawan tandingnya paham makna “sigu” yang dilantunkan dalam syair lagu bahasa Manggarai, lawan tandingnya berbicara dalam bahwa ” oe sigu te latang landu gho” dan jikalau mengena dalam hati lawan tandingnya maka lawan tandingnya akan membuat syair “sigu” balik. Atau dalam kebiasaan lainnya yang disampaikan oleh seorang “tongka” (juru bicara adat) saat acara peminangan dalam sistem perkawinan orang Manggarai. Maka, seorang “tongka” dalam sistem perkawinan orang Manggarai bukanlah orang sembarangan. Seorang “tongka” harus memiliki wawasan luas serta memahami budaya serta memahami maksud apa yang disampaikan dari “tongka” lain saat dilangsungkan acara peminangan. Biasanya “tongka” dari pihak keluarga perempuan dan pihak laki-laki.
Kadang-kadang, ber-sigu juga menghibur satu sama lain dengan goet-goet yang memiliki nilai humornya.
Sinis Yang Tajam, Tapi Saling Menghormati
Sigu adalah sinis yang tajam, tapi saling menghormati antara mitra dialog. Banyak hal yang diumpamakan melalui bahasa dengan goet-goet Manggarai yang membutuhkan kecerdasan dalam memahami lawan bicara. Tentu intuisi dan sikap yang mendengarkan lawan bicara menjadi kunci untuk memahami ungkapan perumpamaan yang dibicarakan oleh mitranya. Tanpa itu, orang tidak akan memahami apa maksud dalam perumpamaan itu yang diduga kritik secara halus tapi menohok.
Save Dagun, Penulis Buku Ensiklopedia Manggarai dari Institute Manggarai saat diminta tanggapannya tentang Sigu secara singkat menjelaskan Sigu adalah bentuk kritik yang disampaikan secara halus tetapi menohok. Tampaknya orang Manggarai mempunyai tata cara kritik. Ini contoh pendidikan Budi pekerti yang perlu kita rawat.
Sejauh yang saya alami pada masa kecil hingga saat ini, bahwa kekinian orang Manggarai masih merawat budaya diskusi dengan metode “sigu”. Bahkan, memakai bahasa menjadi kunci kekuatan dalam ber-sigu-an ditengah-tengah kehidupan sosial kemasyarakatan. Bahasa halus dengan narasi yang apik dipakai oleh masyarakat Manggarai saat dilangsungkan saling “sigu”.
Umpan balik selalu terjadi saat dilangsungkan saling “sigu”. Banyak jenis bahasa “sigu” yang dimainkan. Boleh dibilang game language digunakan oleh warga yang ber-“sigu”.
Utamakan Persahabatan dan Persaudaraan
Salah satu cara untuk membina dan membangun persahabatan dan persaudaraan dalam interaksi sosial masyarakat Manggarai dengan cara ber-sigu. Ada nilai lucu, humor yang membangun ikatan kekeluargaan dalam satu komunitas sosial. Sigu juga merupakan sastra lisan orang Manggarai. Untuk itu, orang Manggarai adalah kumpulan sastrawan lisan. Sayangnya, goet sigu belum dibukukan oleh para intelektual orang Manggarai.
Sigu merupakan gaya dialektika orang Manggarai untuk membangun persaudaraan, persahabatan dan rasa kekeluargaan yang tinggi. Ada nilai persaudaraan, kekeluargaan dan Persahabatan. +++