MANGGARAI BARAT,Bidiknusatenggara | Dampak perubahan iklim dirasakan semakin parah termasuk mengancam ketahanan pangan. Perubahan pola hujan, kenaikan permukaan air laut, dan kejadian cuaca ekstrem memberikan dampak pada sektor pertanian.
Manajer Program Ekosistem Pertanian Yayasan KEHATI, Puji Sumedi, mengatakan bahwa untuk menghadapi tantangan global itu perlu tindakan nyata, salah satunya melalui aksi-aksi iklim nyata di tingkat lokal.
Ia menuturkan rangkaian kegiatan masyarakat sipil saat Festival Golo Koe di Labuan Bajo, Manggarai Barat, NTT, bertujuan untuk membangun pemahaman publik khususnya generasi muda lokal tentang dampak perubahan iklim dan kaitannya terhadap lingkungan dan ketahanan pangan.
“Kami berharap kegiatan ini dapat membangun pola pikir generasi muda yang berorientasi pada budaya pangan lokal yang ekologis dan ekonomi berkelanjutan,” kata Puji.
Festival yang digelar pada 10-15 Agustus 2023 itu melibatkan koalisi masyarakat sipil diantaranya Yayasan KEHATI, Koalisi Pangan Baik, Hivos, VCA, dan Koalisi Rakyat Kedaulatan Pangan (KRKP).
Selanjutnya, Koalisi Food and Land Use (FOLU) Indonesia–World Resources Institute (WRI) bekerja sama dengan Keuskupan Ruteng dan Kantor Utusan Khusus Presiden Bidang Pengentasan Kemiskinan dan Ketahanan Pangan serta Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XVI.
Terdaftar lebih dari 500 anak muda dari tiga wilayah (Manggarai Barat, Manggarai, Manggarai Timur) yang tergabung dalam Orang Muda Katolik (OMK) mengikuti rangkaian kegiatan Festival Golo Koe di tahun ini.
Rangkaian kegiatan dimulai dengan melakukan kegiatan penanaman bibit mangrove dan bersih-bersih pantai pada 11 Agustus 2023. Selanjutnya, kegiatan seminar dan talkshow berlokasi di Aula Paroki Wae Sambi.
Turut hadir saat sebagai keynote speaker yaitu Utusan Khusus Kepresidenan (UKP) Bidang Kerjasama Pengentasan Kemiskinan dan Ketahanan Pangan, Muhamad Mardiono, Direktur The Climate Reality Project Indonesia, Amanda Katili Niode PhD dengan topik bahasan mengarusutamakan isu perubahan iklim global ke konteks lokal.
Selain itu, Romo Inno Sutam membahas topik penerapan Laudato Si dalam mendorong aksi iklim, pangan, dan ekonomi berkelanjutan.
Romo Inno memandang kontribusi agama dalam menyelesaikan persoalan perubahan iklim semakin relevan.
Mengutip pernyataan Paus Fransiskus dalam Laudato Si, Romo Inno menyatakan bahwa bumi kita dalam keadaan krisis. Ensiklik kedua Paus Fransiskus ini mengkritik konsumerisme, pembangunan yang tidak terkendali, kerusakan lingkungan, dan pemanasan global.
Romo Inno berharap generasi muda Katolik dapat menjadi penggerak ketahanan pangan lokal dan ekonomi berkelanjutan yang berbudaya dan berkeadilan iklim.
Produktivitas Sampah Makanan
Mardiono pada keynote speech-nya mengajak peserta mengampanyekan program makan sehat cukup gizi dan cukup porsi. Kampanye ini bertujuan untuk mendorong gaya hidup sehat dan mencegah terjadinya sampah makanan.
Program lain yang dikampanyekan adalah belanja dengan bijak untuk mengurangi perilaku konsumtif masyarakat terutama kelas menengah atas, serta program berbagi makanan untuk mengurangi volume makanan yang akan kadaluarsa dan terbuang.
Permasalahan sampah makanan atau food waste menjadi suatu ironi di tengah perjuangan beberapa daerah membangun ketahanan pangan.
Menurut hasil kajian Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) bersama sejumlah lembaga, Indonesia membuang sampah makanan 23-48 juta ton per tahun pada periode 2000-2019 atau setara dengan 115-184 kilogram per kapita per tahun.
Kerugian ekonomi yang ditimbulkan sebesar Rp 213–551 triliun per tahun atau setara dengan 4-5 persen PDB Indonesia per tahun.
Secara sosial, kehilangan ini setara dengan kandungan energi untuk porsi makan 61-125 juta orang per tahun. Secara ekologi food waste menyumbang 8-10% emisi gas rumah kaca.
Permasalahan ini diharapkan berangsur-angsur terselesaikan melalui pelibatan generasi muda. Sebagai agen perubahan, peranan generasi muda sangat penting untuk mempengaruhi tindakan individu, masyarakat, dan pemerintah dalam menghadapi tantangan perubahan iklim.
Kepala Sekretariat FOLU Indonesia, Gina Karina, mengatakan sebagai pemimpin masa depan, generasi muda harus terlibat aktif dalam transformasi menuju sistem pangan yang berkelanjutan.
Ia mengajak anak-anak muda NTT dan Indonesia untuk berpartisipasi dalam kompetisi Gen-Z for Sustainable Food System (GSFS) 2023 yang sedang diselenggarakan.
“Para peserta terpilih nantinya akan berkesempatan magang bersama organisasi masyarakat sipil serta berkontribusi langsung terhadap ketahanan pangan Indonesia,” ujar Gina.
Generasi muda harus berjejaring, berkolaborasi, dan menghadirkan gerakan yang lebih besar dalam menghadapi isu perubahan iklim, tambahnya.
Kegiatan dilanjutkan dengan pembacaan deklarasi oleh anak muda sekaligus peluncuran gerakan stop boros pangan dan ekonomi sirkular.
Pojok Dapur Mama
Selepas seminar di Aula Wae Sambi, peserta dimanjakan dengan sajian 1.700 gelas kopi dan minuman rempah, serta 1.700 olahan pangan lokal khas Manggarai Raya di area Pojok Dapur Mama.
Tidak sekedar untuk melepas rasa lapar dan dahaga, dalam penyajiannya Pojok Dapur Mama tidak menyediakan makanan berbahan baku terigu dan disajikan tanpa plastik.
“Pesan bahwa masyarakat NTT memiliki ketahanan pangan yang tangguh melalui pemanfaatan potensi pangan lokal yang ramah lingkungan, dan rendah emisi,” kata Said Abdullah, Koordinator Koalisi Rakyat Untuk Kedaulatan Pangan.
Direktur Program Yayasan KEHATI, Rony Megawanto, mengatakan bahwa kehadiran narasumber dalam kegiatan itu memberikan perspektif perubahan iklim yang lengkap. Mulai dari aksi lokal, nasional, sampai solusi perubahan iklim di tingkat global.
KEHATI akan terus mendorong program adaptasi perubahan iklim, salah satunya melalui aksi lokal oleh masyarakat seperti mengonsumsi pangan lokal, termasuk sorgum. **(Markus Makur)